Senin, 26 Januari 2009

Perjuangan yang Mustahil



Perjuangan yang Mustahil

Ia adalah salah seorang contoh manusia Indonesia yang berhenti di puncak prestasi. Siapa sangka peraih penghargaan Olahragawan Terbaik dari Pemerintah RI 1978 ini punya masa lalu yang pahit, sebagai bocah dengan tangan kanan yang lumpuh? Keuletan dan sikap religiusnya tercuat dalam perjalanan kariernya. Syamsul Anwar Harahap membagi kisah hidupnya.

"Awak petinju, tak?" tanya dokter yang memeriksa kesehatanku di Singapura. Dokter itu ragu, apa betul aku ini petinju. "Tangan awak begini kecil. Tak bolehlah main."

"Saya ini juara Indonesia. Saya ke sini untuk menjuarai turnamen ini."

"Ah, tak bisalah."

Itu terjadi pada 1971, saat aku mewakili Indonesia ke Singapura di Pesta Sukan. Alhamdulillah, berhadapan dengan petinju Selandia Baru, saya hajar dia dan menang. Petinju Malaysia, India dan Thailand, semua saya babat. Saya menjadi juara untuk kelas ringan 60 kg. Apa kata koran Sumatera Utara? "Orang yang tadinya berpenyakit polio menjadi juara."

Buatku semua ini tak lepas dari pertolongan Tuhan. Hal yang sampai sekarang selalu aku syukuri.

Minder. Waktu kecil aku tak berani bercita-cita. Menjadi orang terkenal, menjadi petinju, menjadi tentara, ah itu mustahil. Teman-temanku banyak yang bercita-cita masuk AMN (Akademi Militer Nasional). Tapi aku? Aku minder. Aku kerap dilanda keputusasaan karena penyakit polio yang menyerang tangan kananku, sejak berumur satu setengah tahun.

Waktu itu aku baru sembuh dari sakit. Ketika aku mulai bisa bermain dengan kawan-kawan, baru ketahuan tangan kananku tak berfungsi. Saat itulah bapak menumpahkan kekesalannya menyaksikan kecacatanku kepada ibu. "Gara-gara kamu, anak kita menjadi begini." Saya mendengar ungkapan seperti itu sampai aku duduk di bangku kelas tiga SMP. Bapak selalu menyalahkan ibu. Ibu tetap setia dan tabah merawat kami.

Saat duduk di bangku SMP, ibu membawaku ke mana-mana untuk diobati, tapi semuanya tak membawa hasil. Pernah aku dibawa ke Dokter Mahmud untuk menjalani terapi kejut, tangan kananku dipancing aktif dengan aliran listrik. Ini juga gagal.

Lepas dari SMP, aku memilih ikut paman, Parung Siregar. "Saya mau lebih maju. Saya mau ke Medan, ke tempat tulang (paman)," kataku kepada bapak, ketika beliau dipindahkan dari Pematangsiantar ke Tarutung. Sebagai anak kampung yang cacat, di kota Medan aku merasa makin rendah diri. Akibat perasaan itu rapor kuartal pertamaku hanya ada tiga angka biru, selebihnya "kebakaran". Kuartal kedua membaik, ada tujuh angka biru, meski angka lainnya tetap "kebakaran". Saat kenaikan kelas, hanya ada tiga angka merah. Naik kelas dua, aku bisa menjadi juara kelas, peringkat kedua. Sejak itu mulai muncul rasa percaya diri.

Tulang-ku adalah pemegang medali perak tinju Asian Games IV di Jakarta. Banyak anak muda yang berlatih padanya. Di rumah tulang aku hanya diberi tugas mengambil air atau peralatan bertinju. Kerjaku menyirami halaman agar tak berdebu. Selebihnya, aku banyak menonton anak-anak yang tengah berlatih. Tulang tak pernah menyuruhku berlatih. Aku pun tak pernah tertarik berlatih. Kan tidak mungkin.

Gara-gara Kesal. Tanggal 1 Agustus 1969 adalah hari ulang tahunku yang ke-17. Tapi di rumah tulang ini tak satu pun yang tahu. Timbul rasa kesal di hati. Malam itu aku ke belakang rumah, ke tempat latihan tinju. Kupukul sansak berulang-ulang. Gedebam, gedebum. Rupanya terdengar oleh tulang. Dari jauh ia mengamati. Katanya, pukulan dan langkahku bagus meski tak pernah berlatih.

"Sul, kau ini bisa bagus kalau jadi petinju."

"Ah, Tulang. Mana mungkin, tangan saya begini."

"Sul, kalau kita mau, gunung pun bisa kita geser."

Lantas kami ngobrol lama malam itu. Ia pun mengajariku cara melatih tanganku, menumbuhkan kekuatan. Diambilnya peralatan latihan, dumble, katrol dan segala macam. Aku cuma memandanginya. Ah, nggak mungkin, gumamku dalam hati. Perbincangan berakhir. Malam itu aku tidur tak nyenyak.

Ada perang batin dalam diriku. Aku lakukan atau tidak? Aku ingat cerita ibuku, kisah pemegang medali emas lari maraton olimpiade Roma (1960) dari Amerika Serikat. Namanya Whilma Rudolf. Whilma ini sebelum menjadi pelari, kaki kirinya mengalami polio. Ibu memotivasi aku, "Kamu harus bisa."

Besoknya aku masih ingat kisah itu. Kalau si Whilma bisa, mengapa aku tidak? Aku coba-coba berlatih. Kuangkat dumble dengan tangan kananku. Tak ada tenaga. Tanganku jatuh. Berulang-ulang alat itu terlepas. Ah, percuma. Ketika aku mulai putus asa, datang nenekku. Nenek memberikan dorongan. Keinginan untuk bisa bertinju, muncul lagi. Kali ini tak kubiarkan keinginan itu pupus. Terus, terus, dan terus kulatih tanganku yang lemah itu. Seharian aku latihan, esoknya aku mulai merasa pegal. Aku tetap latihan. Kupaksa tanganku terus bergerak. Dengan airmata berlinang aku berlatih, sampai otot tanganku kelihatan.

Sekitar sepekan kemudian tulang mulai melibatkanku latihan bersama yang lain. Aku patuhi semua program latihan yang dia sodorkan. Sungguh menyakitkan ketika melihat teman-teman berlari normal. Berkali-kali tangan kananku terjatuh lunglai kala kuberlari, sehingga mengganggu keseimbanganku. Aku menangis. Hatiku menjerit, "Tuhan, tolonglah hamba-Mu. Adillah Kau buat diriku, kalau aku tak bisa berlari, Kau tak adil." Kucetuskan tekad (nazar, Red.) dalam hatiku. Sesudah itu aku bangkit lagi. Meski tertatih, aku terus berlatih. Tangan kananku mulai bisa digerakkan meski tak selincah tangan kiriku. Memasuki bulan ketiga, tulang menyuruhku ikut pertandingan.

Pada 31 Oktober 1969, itulah saat pertama kali aku bertanding tinju. Aku bermain di kelas terbang. Lawan pertamaku bernama Khaerudin. Ketika aku melayangkan pukulan dengan tangan kanan, tyung, tangan itu jatuh. Begitu terus berulang-ulang. Pengalaman pertama itu sungguh berharga. Benar-benar kubuat pelajaran hingga aku berhasil merebut medali emas. Ini medali emas pertamaku.

Agustus 1970 ada pertandingan tinju Sumatera Utara di kota Tarutung. Kebetulan dari kota Medan tak ada yang mewakili kelas bulu. Aku pun diikutkan di kelas itu, cuma sebagai pelengkap. Sekadar memberi pengalaman padaku.

Ternyata aku berhasil mencapai final. Lawanku di final petinju yang baru kembali dari kejuaraan nasional di Makasar. Namanya Syarifudin. Aku sudah diperhitungkan kalah. Tim lawan kami terlalu kuat sehingga mustahil kami meraih juara umum. Nyatanya, lawanku yang hancur. Kalah telak meski untuk itu tanganku sampai berdarah. Saat itu di radio namaku mulai disebut. "Kejuaraan tinju se-Sumatera Utara juara pertama Syamsul Anwar Harahap." Itulah untuk yang pertama kali namaku melejit di kawasan Sumatera Utara.

Maka saatnyalah untuk memenuhi tekadku dulu. Sebenarnya tak enak aku mengungkapkan tekadku ini karena sebagian belum dapat kupenuhi. Yang sudah berhasil kupenuhi adalah membahagiakan orangtua dan menjalankan salat--karena selama ini salatku bolong-bolong. Sedangkan yang belum bisa kulakukan adalah berhaji.

Bukan Doa Kemenangan. Ketika aku masih kecil, keluargaku tinggal di kompleks yang dihuni sekitar 30 kepala keluarga. Di sana hanya ada dua keluarga muslim. Ibu menyuruh kami, anak-anak, keluar kompleks untuk belajar mengaji.

Bapak juga ketat dalam agama meski tak pernah menyakiti fisik anak-anaknya. Bapak selalu menasihati kami, tiang agama adalah salat. Tetaplah salat dalam keadaan bagaimanapun.

Tapi keluarga kami tak menabukan tinju. Kalau bapak pernah melarangku bertinju, itu karena tidak tega saja. Yang tertanam dalam hatiku adalah sportivitas berolahraga. Sehingga menjelang bertanding, aku punya doa tersendiri. Setelah membaca Al-Fatihah, aku berdoa, "Ya Allah, lindungilah aku, lindungilah lawanku. Jauhkan kami dari kecelakaan. Tunjukkah siapa yang menang dengan sebenarnya." Bukan doa minta menang, melainkan mohon keselamatan.

Olahraga mengajariku, kalu aku sukses setelah berlatih keras, itu wajar. Kalau aku tidak berlatih, terus aku berdoa minta kemenangan dan terkabul, bagiku Tuhan tidak adil. Masak, aku tidak latihan, lawanku latihan, kok aku yang menang?

Hikmah Disepelekan. Setelah perebutan Sarung Tinju Emas di Irian Jaya pada 1978, sebetulnya aku sudah mau menggantungkan sarung tinju. Karena sampai saat itu aku tak terkalahkan, lalu untuk apa menjadi juara lagi? Tapi keinginan itu belum bisa kuwujudkan. Beberapa pertandingan lagi masih kujalani. Akhirnya aku benar-benar pensiun bertinju setelah pertandingan pada 1983 melawan petinju Belanda. Tak terasa 14 tahun sudah aku bertinju. Cukup sudah.

Aku memutuskan berhenti karena ada hal yang menyiksa. Karena kita bertanding terus sama dengan pesta pora terus. Berpesta dalam pertandingan demi pertandingan. Setiap kita latihan, ada dorongan untuk mencapai target.

Pernah aku ditawar promotor Amerika bayaran senilai US$1 juta untuk tiga pertandingan. Pertandingan ketiga melawan Thomas Hearns, yang dulu pernah kukalahkan dalam pertandingan amatir. Aku tak mau. Aku sudah cukup bersyukur, ogah jadi petinju bayaran. Aku bersyukur telah merasakan sesuatu yang lebih dari uang. Maka itulah, aku tak lagi mau mencari uang.

Duit ini untuk apa? Bukankah paling-paling untuk bergaya. Dengan tampil sebagai manusia normal, itu lebih dari cukup. Aku membayangkan, saat kecil aku dicaci sebagai anak cacat, pada 1978 aku menerima bintang anugerah olahraga dari pemerintah. Allahu Akbar. Ketika dikumandangkan lagu Padamu Negeri, air mataku menetes. Ya Tuhan, saat aku kecil aku dihina karena cacat, kini aku diberi penghargaan negara sebagai orang perkasa. Aku diliputi keharuan. Bayangkan, dari disepelekan lantas dihargai negara sebagai orang perkasa, berprestasi. Begitu besar lompatannya. Untuk itu semua aku sangat bersyukur. Itu sudah lebih dari cukup.

Puasa, Luar Biasa. Berkenaan dengan bulan puasa ini, aku punya cerita yang menurutku incredible, ajaib. Saat mempersiapkan ikut kejuaraan Asia pada 1975, aku masuk Pelatnas tepat di bulan puasa. Selama berlatih, aku tetap puasa. Setelah latihan pagi, aku kehilangan bobot 1,5 kg. Antara pukul 8.00 - pukul 16.00, aku kehilangan bobot 0,5 kg. Setelah latihan sore, aku kehilangan bobot 2 kg. Total dalam sehari aku kehilangan empat kilogram per hari. Tapi anehnya, hal itu tak membawa pengaruh pada staminaku. Padahal dalam keadaan normal, sebentar berlatih aku biasanya langsung minta minum. Karena berpuasa, ada tekad menjalankan puasa sehingga meskipun kehilangan bobot aku tetap segar.

Sebenarnya, pengalaman seperti ini bukan hanya aku yang punya. Buat olahragawan muslim, berpuasa saat latihan biasa. Saat berbuka puasa, kembali lagi yang empat kilogram tadi.

Pada 1975 aku juga pernah bertanding pada bulan puasa. Pertandingannya sendiri berlangsung malam hari, tetapi siang harinya aku berlatih. Meskipun pelatih menyarankan agar aku tak berpuasa, aku tetap tak mau membatalkan puasaku. Kalau dipikirkan, apa yang kualami ini mengherankan. Tidak latihan saja jika tidak makan siang, kita merasa lapar. Apalagi berpuasa sambil menjalani latihan. Anehnya kok kami bisa tahan?

Sang Buldozer Ring

Namanya menjadi salah satu legenda dunia tinju nasional. Dalam karier bertinju selama 14 tahun, sejak 1968, beberapa kali ia menjadi juara pertama: Pesta Sukan Singapura (1971 dan 1975), Pakistan I-ABT Karachi (1976); juara Pesta Sukan Asia 1975 di Yokohama, Jepang, dan di Karachi, India 1977; juara Turnamen Piala Presiden RI sekaligus petinju terbaik 1976. Pada 1978 pemerintah RI menganugerahkan penghargaan sebagai olahragawan terbaik.

Syamsul Anwar Harahap, dalam 139 kali pertandingan yang pernah dialaminya hanya kalah 16 kali dan belum pernah KO. Lelaki kelahiran Pematangsiantar, 1 Agustus 1952 ini, karena prestasinya sampai dijuluki buldozer ring. Perawakannya sedang, tetapi gaya bertinjunya penuh perhitungan, pukulan-pukulannya efektif. Kecermatan membaca gaya bertinju lawannya, membuatnya segera paham kelebihan dan kekurangan lawan.

Sebagai anak yang mengalami cacat polio tangan kanannya semasa kecil, sebenarnya sang ayah, juru ukur Dinas PU Tarutung (Sumatera Utara) Bisman Harahap tak rela Syamsul menjadi petinju. Ayahnya tak tega Syamsul digebuki orang. Tapi sang ibu lebih tegar. Dalam persepsi ibunya, tinju itu olahraga. "Kalau kamu bisa maju dengan tinju, tinju takkan merusak kamu," kata Syamsul menirukan pesan sang ibu, Nauly Siregar. "Tanpa tinju, bocah yang masa kecilnya menderita polio, dengan tangan kanan lumpuh ini menjadi apa? Nothing," ujar Syamsul. Ketegaran sang ibu yang lahir di Johor dan besar di Singapura itu memompa semangat dan motivasi Syamsul.

Dalam karier seseorang, ada peristiwa yang menjadi legenda. "Legenda pertamaku adalah saat berhadapan dengan Thomas Hearn dari Amerika Serikat pada 1976." Thomas Hearn dikenal sebagai raja KO. Dia memukul KO petinju Jepang dalam 48 detik, petinju Singapura dalam 54 detik. Di final, dia berhadapan dengan Syamsul.

Sebagai petinju yang sejak dini sudah mempelajari teori dan prakteknya, Syamsul segera mengenal gaya permainan Thomas Hearn. "Yang terkuat, tangan kanannya. Tak ada yang bisa menahannya," kata Syamsul. "Aku sadar dan tak mau dipukul tangan kanannya." Makanya di atas ring ia terus bergerak mendekati tangan kiri Thomas. Kebetulan, Syamsul petinju kidal sehingga tangan kirinya bisa dengan mudah menyodok kepala lawan. Ia bisa memukul dengan telak, sampai dua kali lawannya jatuh. Meski tak sampai KO, ia bisa menang angka. "Foto pertandingan itu dimuat di Washington Post."

Sebagai petinju nasional yang sering menjadi juara, Syamsul banyak penggemar. Dan tentu, beberapa di antaranya singgah di hatinya. "Tapi akhirnya aku memilih perempuan normal, yang tidak glamor bahkan penuh kesederhanaan. Ketika kita tidak dalam kemegahan cinta sejati itu benar-benar muncul," ujarnya mengenai Eksi Woro Andayani, gadis Magelang adik kelasnya di Akademi Sekretaris dan Manajemen (ASMI) Jakarta.

Ia bersua sang kekasih saat berlibur ke Kintamani, Bali memenuhi ajakan direktur ASMI. Saat itu, Syamsul adalah salah seorang olahragawan yang memperkuat tim DKI Jakarta dalam PON IX 1977 di Senayan. Tim DKI Jakarta diteror penonton, sehingga pertandingan terpaksa batal, diteruskan esok harinya. "Esoknya, kami sebagai petinju DKI naik ke panggung. Tapi kami tidak mau bertinju dan lawan kami mendapat medali emas. Ada lima orang," ujarnya mengenang sikap tak sportif yang terjadi kala itu.

Di Bali, Syamsul berlibur bersama para mahasiswa ASMI yang sedang studi tur. Para mahasiswi ASMI itu ada yang mengajak berfoto atau meminta tanda tangan. "Ternyata ada satu gadis berwajah Jawa, tampaknya tak tertarik meminta tanda tangan atau berfoto bersama saya. Saya penasaran," kenang Syamsul.

Kawan yang dimintanya memperkenalkan mengatakan, si gadis yang dimaksud itu orangnya pendiam. Syamsul tetap saja ingin berkenalan. Justru kesederhanaan itulah yang membuatnya jatuh hati.

Pernikahannya dengan Eksi Woro Andayani ini bak menelan ludah kembali. "Soalnya, aku pernah bilang nggak bakal dapat istri anak ASMI. Habis, umumnya mereka itu, kalau dilihat tas yang dibawanya, gile. Dilihat sepatunya, gile. Datang pun antar jemput pakai mobil. Dengan gadis seperti itu, wow, cintaku tergadai." Nyatanya? Ada juga gadis ASMI yang memikat hatinya.

Kini, pernikahan dua sejoli itu dikaruniai empat anak. Setelah menggantung sarung tinju, Syamsul Anwar pernah menjadi karyawan Pertamina. Sejak 1984 ia menjadi manajer produksi PT Sepatu Bata (1984-sekarang) di Jakarta. Kolomnya tentang tinju mengisi sejumlah media massa. Dengan suara khasnya, ia menjadi komentator tinju di media elektronik.

Tidak ada komentar: