Senin, 26 Januari 2009
Perjuangan yang Mustahil
Perjuangan yang Mustahil
Ia adalah salah seorang contoh manusia Indonesia yang berhenti di puncak prestasi. Siapa sangka peraih penghargaan Olahragawan Terbaik dari Pemerintah RI 1978 ini punya masa lalu yang pahit, sebagai bocah dengan tangan kanan yang lumpuh? Keuletan dan sikap religiusnya tercuat dalam perjalanan kariernya. Syamsul Anwar Harahap membagi kisah hidupnya.
"Awak petinju, tak?" tanya dokter yang memeriksa kesehatanku di Singapura. Dokter itu ragu, apa betul aku ini petinju. "Tangan awak begini kecil. Tak bolehlah main."
"Saya ini juara Indonesia. Saya ke sini untuk menjuarai turnamen ini."
"Ah, tak bisalah."
Itu terjadi pada 1971, saat aku mewakili Indonesia ke Singapura di Pesta Sukan. Alhamdulillah, berhadapan dengan petinju Selandia Baru, saya hajar dia dan menang. Petinju Malaysia, India dan Thailand, semua saya babat. Saya menjadi juara untuk kelas ringan 60 kg. Apa kata koran Sumatera Utara? "Orang yang tadinya berpenyakit polio menjadi juara."
Buatku semua ini tak lepas dari pertolongan Tuhan. Hal yang sampai sekarang selalu aku syukuri.
Minder. Waktu kecil aku tak berani bercita-cita. Menjadi orang terkenal, menjadi petinju, menjadi tentara, ah itu mustahil. Teman-temanku banyak yang bercita-cita masuk AMN (Akademi Militer Nasional). Tapi aku? Aku minder. Aku kerap dilanda keputusasaan karena penyakit polio yang menyerang tangan kananku, sejak berumur satu setengah tahun.
Waktu itu aku baru sembuh dari sakit. Ketika aku mulai bisa bermain dengan kawan-kawan, baru ketahuan tangan kananku tak berfungsi. Saat itulah bapak menumpahkan kekesalannya menyaksikan kecacatanku kepada ibu. "Gara-gara kamu, anak kita menjadi begini." Saya mendengar ungkapan seperti itu sampai aku duduk di bangku kelas tiga SMP. Bapak selalu menyalahkan ibu. Ibu tetap setia dan tabah merawat kami.
Saat duduk di bangku SMP, ibu membawaku ke mana-mana untuk diobati, tapi semuanya tak membawa hasil. Pernah aku dibawa ke Dokter Mahmud untuk menjalani terapi kejut, tangan kananku dipancing aktif dengan aliran listrik. Ini juga gagal.
Lepas dari SMP, aku memilih ikut paman, Parung Siregar. "Saya mau lebih maju. Saya mau ke Medan, ke tempat tulang (paman)," kataku kepada bapak, ketika beliau dipindahkan dari Pematangsiantar ke Tarutung. Sebagai anak kampung yang cacat, di kota Medan aku merasa makin rendah diri. Akibat perasaan itu rapor kuartal pertamaku hanya ada tiga angka biru, selebihnya "kebakaran". Kuartal kedua membaik, ada tujuh angka biru, meski angka lainnya tetap "kebakaran". Saat kenaikan kelas, hanya ada tiga angka merah. Naik kelas dua, aku bisa menjadi juara kelas, peringkat kedua. Sejak itu mulai muncul rasa percaya diri.
Tulang-ku adalah pemegang medali perak tinju Asian Games IV di Jakarta. Banyak anak muda yang berlatih padanya. Di rumah tulang aku hanya diberi tugas mengambil air atau peralatan bertinju. Kerjaku menyirami halaman agar tak berdebu. Selebihnya, aku banyak menonton anak-anak yang tengah berlatih. Tulang tak pernah menyuruhku berlatih. Aku pun tak pernah tertarik berlatih. Kan tidak mungkin.
Gara-gara Kesal. Tanggal 1 Agustus 1969 adalah hari ulang tahunku yang ke-17. Tapi di rumah tulang ini tak satu pun yang tahu. Timbul rasa kesal di hati. Malam itu aku ke belakang rumah, ke tempat latihan tinju. Kupukul sansak berulang-ulang. Gedebam, gedebum. Rupanya terdengar oleh tulang. Dari jauh ia mengamati. Katanya, pukulan dan langkahku bagus meski tak pernah berlatih.
"Sul, kau ini bisa bagus kalau jadi petinju."
"Ah, Tulang. Mana mungkin, tangan saya begini."
"Sul, kalau kita mau, gunung pun bisa kita geser."
Lantas kami ngobrol lama malam itu. Ia pun mengajariku cara melatih tanganku, menumbuhkan kekuatan. Diambilnya peralatan latihan, dumble, katrol dan segala macam. Aku cuma memandanginya. Ah, nggak mungkin, gumamku dalam hati. Perbincangan berakhir. Malam itu aku tidur tak nyenyak.
Ada perang batin dalam diriku. Aku lakukan atau tidak? Aku ingat cerita ibuku, kisah pemegang medali emas lari maraton olimpiade Roma (1960) dari Amerika Serikat. Namanya Whilma Rudolf. Whilma ini sebelum menjadi pelari, kaki kirinya mengalami polio. Ibu memotivasi aku, "Kamu harus bisa."
Besoknya aku masih ingat kisah itu. Kalau si Whilma bisa, mengapa aku tidak? Aku coba-coba berlatih. Kuangkat dumble dengan tangan kananku. Tak ada tenaga. Tanganku jatuh. Berulang-ulang alat itu terlepas. Ah, percuma. Ketika aku mulai putus asa, datang nenekku. Nenek memberikan dorongan. Keinginan untuk bisa bertinju, muncul lagi. Kali ini tak kubiarkan keinginan itu pupus. Terus, terus, dan terus kulatih tanganku yang lemah itu. Seharian aku latihan, esoknya aku mulai merasa pegal. Aku tetap latihan. Kupaksa tanganku terus bergerak. Dengan airmata berlinang aku berlatih, sampai otot tanganku kelihatan.
Sekitar sepekan kemudian tulang mulai melibatkanku latihan bersama yang lain. Aku patuhi semua program latihan yang dia sodorkan. Sungguh menyakitkan ketika melihat teman-teman berlari normal. Berkali-kali tangan kananku terjatuh lunglai kala kuberlari, sehingga mengganggu keseimbanganku. Aku menangis. Hatiku menjerit, "Tuhan, tolonglah hamba-Mu. Adillah Kau buat diriku, kalau aku tak bisa berlari, Kau tak adil." Kucetuskan tekad (nazar, Red.) dalam hatiku. Sesudah itu aku bangkit lagi. Meski tertatih, aku terus berlatih. Tangan kananku mulai bisa digerakkan meski tak selincah tangan kiriku. Memasuki bulan ketiga, tulang menyuruhku ikut pertandingan.
Pada 31 Oktober 1969, itulah saat pertama kali aku bertanding tinju. Aku bermain di kelas terbang. Lawan pertamaku bernama Khaerudin. Ketika aku melayangkan pukulan dengan tangan kanan, tyung, tangan itu jatuh. Begitu terus berulang-ulang. Pengalaman pertama itu sungguh berharga. Benar-benar kubuat pelajaran hingga aku berhasil merebut medali emas. Ini medali emas pertamaku.
Agustus 1970 ada pertandingan tinju Sumatera Utara di kota Tarutung. Kebetulan dari kota Medan tak ada yang mewakili kelas bulu. Aku pun diikutkan di kelas itu, cuma sebagai pelengkap. Sekadar memberi pengalaman padaku.
Ternyata aku berhasil mencapai final. Lawanku di final petinju yang baru kembali dari kejuaraan nasional di Makasar. Namanya Syarifudin. Aku sudah diperhitungkan kalah. Tim lawan kami terlalu kuat sehingga mustahil kami meraih juara umum. Nyatanya, lawanku yang hancur. Kalah telak meski untuk itu tanganku sampai berdarah. Saat itu di radio namaku mulai disebut. "Kejuaraan tinju se-Sumatera Utara juara pertama Syamsul Anwar Harahap." Itulah untuk yang pertama kali namaku melejit di kawasan Sumatera Utara.
Maka saatnyalah untuk memenuhi tekadku dulu. Sebenarnya tak enak aku mengungkapkan tekadku ini karena sebagian belum dapat kupenuhi. Yang sudah berhasil kupenuhi adalah membahagiakan orangtua dan menjalankan salat--karena selama ini salatku bolong-bolong. Sedangkan yang belum bisa kulakukan adalah berhaji.
Bukan Doa Kemenangan. Ketika aku masih kecil, keluargaku tinggal di kompleks yang dihuni sekitar 30 kepala keluarga. Di sana hanya ada dua keluarga muslim. Ibu menyuruh kami, anak-anak, keluar kompleks untuk belajar mengaji.
Bapak juga ketat dalam agama meski tak pernah menyakiti fisik anak-anaknya. Bapak selalu menasihati kami, tiang agama adalah salat. Tetaplah salat dalam keadaan bagaimanapun.
Tapi keluarga kami tak menabukan tinju. Kalau bapak pernah melarangku bertinju, itu karena tidak tega saja. Yang tertanam dalam hatiku adalah sportivitas berolahraga. Sehingga menjelang bertanding, aku punya doa tersendiri. Setelah membaca Al-Fatihah, aku berdoa, "Ya Allah, lindungilah aku, lindungilah lawanku. Jauhkan kami dari kecelakaan. Tunjukkah siapa yang menang dengan sebenarnya." Bukan doa minta menang, melainkan mohon keselamatan.
Olahraga mengajariku, kalu aku sukses setelah berlatih keras, itu wajar. Kalau aku tidak berlatih, terus aku berdoa minta kemenangan dan terkabul, bagiku Tuhan tidak adil. Masak, aku tidak latihan, lawanku latihan, kok aku yang menang?
Hikmah Disepelekan. Setelah perebutan Sarung Tinju Emas di Irian Jaya pada 1978, sebetulnya aku sudah mau menggantungkan sarung tinju. Karena sampai saat itu aku tak terkalahkan, lalu untuk apa menjadi juara lagi? Tapi keinginan itu belum bisa kuwujudkan. Beberapa pertandingan lagi masih kujalani. Akhirnya aku benar-benar pensiun bertinju setelah pertandingan pada 1983 melawan petinju Belanda. Tak terasa 14 tahun sudah aku bertinju. Cukup sudah.
Aku memutuskan berhenti karena ada hal yang menyiksa. Karena kita bertanding terus sama dengan pesta pora terus. Berpesta dalam pertandingan demi pertandingan. Setiap kita latihan, ada dorongan untuk mencapai target.
Pernah aku ditawar promotor Amerika bayaran senilai US$1 juta untuk tiga pertandingan. Pertandingan ketiga melawan Thomas Hearns, yang dulu pernah kukalahkan dalam pertandingan amatir. Aku tak mau. Aku sudah cukup bersyukur, ogah jadi petinju bayaran. Aku bersyukur telah merasakan sesuatu yang lebih dari uang. Maka itulah, aku tak lagi mau mencari uang.
Duit ini untuk apa? Bukankah paling-paling untuk bergaya. Dengan tampil sebagai manusia normal, itu lebih dari cukup. Aku membayangkan, saat kecil aku dicaci sebagai anak cacat, pada 1978 aku menerima bintang anugerah olahraga dari pemerintah. Allahu Akbar. Ketika dikumandangkan lagu Padamu Negeri, air mataku menetes. Ya Tuhan, saat aku kecil aku dihina karena cacat, kini aku diberi penghargaan negara sebagai orang perkasa. Aku diliputi keharuan. Bayangkan, dari disepelekan lantas dihargai negara sebagai orang perkasa, berprestasi. Begitu besar lompatannya. Untuk itu semua aku sangat bersyukur. Itu sudah lebih dari cukup.
Puasa, Luar Biasa. Berkenaan dengan bulan puasa ini, aku punya cerita yang menurutku incredible, ajaib. Saat mempersiapkan ikut kejuaraan Asia pada 1975, aku masuk Pelatnas tepat di bulan puasa. Selama berlatih, aku tetap puasa. Setelah latihan pagi, aku kehilangan bobot 1,5 kg. Antara pukul 8.00 - pukul 16.00, aku kehilangan bobot 0,5 kg. Setelah latihan sore, aku kehilangan bobot 2 kg. Total dalam sehari aku kehilangan empat kilogram per hari. Tapi anehnya, hal itu tak membawa pengaruh pada staminaku. Padahal dalam keadaan normal, sebentar berlatih aku biasanya langsung minta minum. Karena berpuasa, ada tekad menjalankan puasa sehingga meskipun kehilangan bobot aku tetap segar.
Sebenarnya, pengalaman seperti ini bukan hanya aku yang punya. Buat olahragawan muslim, berpuasa saat latihan biasa. Saat berbuka puasa, kembali lagi yang empat kilogram tadi.
Pada 1975 aku juga pernah bertanding pada bulan puasa. Pertandingannya sendiri berlangsung malam hari, tetapi siang harinya aku berlatih. Meskipun pelatih menyarankan agar aku tak berpuasa, aku tetap tak mau membatalkan puasaku. Kalau dipikirkan, apa yang kualami ini mengherankan. Tidak latihan saja jika tidak makan siang, kita merasa lapar. Apalagi berpuasa sambil menjalani latihan. Anehnya kok kami bisa tahan?
Sang Buldozer Ring
Namanya menjadi salah satu legenda dunia tinju nasional. Dalam karier bertinju selama 14 tahun, sejak 1968, beberapa kali ia menjadi juara pertama: Pesta Sukan Singapura (1971 dan 1975), Pakistan I-ABT Karachi (1976); juara Pesta Sukan Asia 1975 di Yokohama, Jepang, dan di Karachi, India 1977; juara Turnamen Piala Presiden RI sekaligus petinju terbaik 1976. Pada 1978 pemerintah RI menganugerahkan penghargaan sebagai olahragawan terbaik.
Syamsul Anwar Harahap, dalam 139 kali pertandingan yang pernah dialaminya hanya kalah 16 kali dan belum pernah KO. Lelaki kelahiran Pematangsiantar, 1 Agustus 1952 ini, karena prestasinya sampai dijuluki buldozer ring. Perawakannya sedang, tetapi gaya bertinjunya penuh perhitungan, pukulan-pukulannya efektif. Kecermatan membaca gaya bertinju lawannya, membuatnya segera paham kelebihan dan kekurangan lawan.
Sebagai anak yang mengalami cacat polio tangan kanannya semasa kecil, sebenarnya sang ayah, juru ukur Dinas PU Tarutung (Sumatera Utara) Bisman Harahap tak rela Syamsul menjadi petinju. Ayahnya tak tega Syamsul digebuki orang. Tapi sang ibu lebih tegar. Dalam persepsi ibunya, tinju itu olahraga. "Kalau kamu bisa maju dengan tinju, tinju takkan merusak kamu," kata Syamsul menirukan pesan sang ibu, Nauly Siregar. "Tanpa tinju, bocah yang masa kecilnya menderita polio, dengan tangan kanan lumpuh ini menjadi apa? Nothing," ujar Syamsul. Ketegaran sang ibu yang lahir di Johor dan besar di Singapura itu memompa semangat dan motivasi Syamsul.
Dalam karier seseorang, ada peristiwa yang menjadi legenda. "Legenda pertamaku adalah saat berhadapan dengan Thomas Hearn dari Amerika Serikat pada 1976." Thomas Hearn dikenal sebagai raja KO. Dia memukul KO petinju Jepang dalam 48 detik, petinju Singapura dalam 54 detik. Di final, dia berhadapan dengan Syamsul.
Sebagai petinju yang sejak dini sudah mempelajari teori dan prakteknya, Syamsul segera mengenal gaya permainan Thomas Hearn. "Yang terkuat, tangan kanannya. Tak ada yang bisa menahannya," kata Syamsul. "Aku sadar dan tak mau dipukul tangan kanannya." Makanya di atas ring ia terus bergerak mendekati tangan kiri Thomas. Kebetulan, Syamsul petinju kidal sehingga tangan kirinya bisa dengan mudah menyodok kepala lawan. Ia bisa memukul dengan telak, sampai dua kali lawannya jatuh. Meski tak sampai KO, ia bisa menang angka. "Foto pertandingan itu dimuat di Washington Post."
Sebagai petinju nasional yang sering menjadi juara, Syamsul banyak penggemar. Dan tentu, beberapa di antaranya singgah di hatinya. "Tapi akhirnya aku memilih perempuan normal, yang tidak glamor bahkan penuh kesederhanaan. Ketika kita tidak dalam kemegahan cinta sejati itu benar-benar muncul," ujarnya mengenai Eksi Woro Andayani, gadis Magelang adik kelasnya di Akademi Sekretaris dan Manajemen (ASMI) Jakarta.
Ia bersua sang kekasih saat berlibur ke Kintamani, Bali memenuhi ajakan direktur ASMI. Saat itu, Syamsul adalah salah seorang olahragawan yang memperkuat tim DKI Jakarta dalam PON IX 1977 di Senayan. Tim DKI Jakarta diteror penonton, sehingga pertandingan terpaksa batal, diteruskan esok harinya. "Esoknya, kami sebagai petinju DKI naik ke panggung. Tapi kami tidak mau bertinju dan lawan kami mendapat medali emas. Ada lima orang," ujarnya mengenang sikap tak sportif yang terjadi kala itu.
Di Bali, Syamsul berlibur bersama para mahasiswa ASMI yang sedang studi tur. Para mahasiswi ASMI itu ada yang mengajak berfoto atau meminta tanda tangan. "Ternyata ada satu gadis berwajah Jawa, tampaknya tak tertarik meminta tanda tangan atau berfoto bersama saya. Saya penasaran," kenang Syamsul.
Kawan yang dimintanya memperkenalkan mengatakan, si gadis yang dimaksud itu orangnya pendiam. Syamsul tetap saja ingin berkenalan. Justru kesederhanaan itulah yang membuatnya jatuh hati.
Pernikahannya dengan Eksi Woro Andayani ini bak menelan ludah kembali. "Soalnya, aku pernah bilang nggak bakal dapat istri anak ASMI. Habis, umumnya mereka itu, kalau dilihat tas yang dibawanya, gile. Dilihat sepatunya, gile. Datang pun antar jemput pakai mobil. Dengan gadis seperti itu, wow, cintaku tergadai." Nyatanya? Ada juga gadis ASMI yang memikat hatinya.
Kini, pernikahan dua sejoli itu dikaruniai empat anak. Setelah menggantung sarung tinju, Syamsul Anwar pernah menjadi karyawan Pertamina. Sejak 1984 ia menjadi manajer produksi PT Sepatu Bata (1984-sekarang) di Jakarta. Kolomnya tentang tinju mengisi sejumlah media massa. Dengan suara khasnya, ia menjadi komentator tinju di media elektronik.
Thomas “Hit Man” Hearns
Thomas “Hit Man” Hearns
Lahir di Memphis, Tennesse, tanggal 18 Oktober 1958, Thomas Hearns memulai karir bertinjunya di ring tinju pro pada tanggal 25 Nopember 1977, setelah dia mengalami kekalahan dari petinju Indonesia Syamsul Anwar Harahap dalam turnamen tinju Piala Presiden Republik Indonesia pada bulan Desember tahun 1976 di Jakarta. Sejak awal mengenal olahraga tinju, Thomas Hearns sudah berlatih di Kronk Boxing Club,
Keistimewaan Thomas Hearns yang membuatnya menjadi petinju legendaris dunia adalah kekerasan pukulannya yang sering membuat lawannya terjungkal. Kecepatan pukulan straight kanannya amat memukau sehingga sering tidak terlihat oleh lawannya. Sebelum tinju kanannya masuk menghajar kepala lawan, tinju kiri Hearns bekerja menganggu lewat pukulan jab atau hook secara aktip. Lawan sibuk dengan serangan tangan kiri Hearns yang berusahauntuk membuka ruang untuk melesatkan pukulan kanannya dalam tempo yang amat cepat. Setelah tangan kiri Hearns seolah membuat lubang, maka masuklah pukulan kanan Hearns yang amat keras dan biasanya lawannya terjungkal KO akibat pukulan tersebut. Karena sering memukul jatuh lawannya, Hearns mendapat julukan ”hit-man” si pembunuh.
Pada 26 kali pertandingan awal yang dilakukannya, dia memenangkan 24 kali dan langsung menjadi juara Amerika Serikat setelah memukul Angel Espada pada ronde ke-4. Tiga kali pertandingan berikutnya, Hearns merebut gelar juara dunia tinju kelas welter versi WBA dengan kemenangan KO pada ronde ke-2 atas pipino Cuevas. Setelah itu Hearns mempertahankan sabuk juaranya sebanyak 3 kali dengan memukul KO pada ronde ke-6 Luis Primera, memukul KO Randy Shields pada ronde ke-13 dan Pablo Baez pada ronde ke-4. Kemudian Hearns mendapat tugas untuk menghadapi Sugar Ray Leonard, Hearns diperdaya oleh Leonard sehingga kalah TKO pada ronde ke-4. Pertandingan Hearns vs. Leonard menghasilkan rekor penonton terbanyak pada waktu itu karena mereka berdua memiliki tehnik bertinju yang tinggi walau Leonard tampil lebih variatip. 3 Desember 1982 Hearns berhasil mengalahkan Wilfredo Benitez dengan angka dan merebut juara dunia kelas menengah-ringan WBC. Setelah itu Hearns mempertahankan gelarnya sekali dan berkesempatan memperebutkan gelar juara dunia sejati kelas menengah-ringan lawan Roberto Duran. Duran berhasil dipukul KO oleh Hearns pada ronde ke-2. Thomas Hearns ingin merebut gelar juara dunia di kelas yang lebih tinggi lagi, yaitu kelas menengah dengan melawan Marvin Hagler. Hearns gagal karena mengalami luka pada bagian matanya akibat pukulan Marvin Hagler. Gagal di kelas menengah, Hearns naik ke kelas berat-ringan melawan Dennis Andress dan memenangkan gelar juara kelas berat-ringan vesrsi WBC. Dengan sudah merebut gelar juara dunia pada 3 kelas yang berbeda, ada kesempatan buat Hearns untuk merebut gelar juara dunia ke-4 dikelas yang berbeda dengan mengalahkan Juan Roldan juara dunia kelas menangah WBC yang KO pada ronde ke-4
Thomas Hearns termasuk jangkung sekali di kelas welter, penampilannya yang lain dari pada yang lain membuatnya lebih populer dan pengagumnya menyebutnya ”Hit Man”, Dengan Marvin Hagler, Roberto Duran, dan Sugar Ray Leonard mereka adalah bintang ring tinju pada dekade 80-an.
Ellyas Pical
Ellyas Pical adalah petinju asal Indonesia yang merupakan juara dunia pertama dari Indonesia.
Masa kecil
Elly, begitu dia disapa, seperti rekan-rekan sebayanya di kampung, pada masa kecil adalah seorang pencari mutiara alami, yang menyelam sampai ke dasar laut untuk mencari mutiara alam. Karena seringnya menyelam saat kecil itu, pendengaran Pical agak kurang peka.
Awal bertinju
Pical jatuh cinta kepada olahraga tinju sejak menonton pertandingan-pertandingan tinju di TVRI, terutama pertandingan Muhammad Ali.
Pical telah menggeluti olahraga tinju sejak berusia 13 tahun, dengan berlatih sembunyi-sembunyi karena dilarang oleh kedua orangtuanya. Sebagai petinju amatir yang bermain di kelas terbang, ia kerap menjadi juara mulai dari tingkat kabupaten hingga kejuaraan Piala Presiden. Karir profesionalnya dimulai pada tahun 1983 dalam kelas bantam junior. Sejak itu, berturut-turut sederet prestasi tingkat dunia diraihnya, seperti juara OPBF setelah mengalahkan Hi-yung Chung asal Korea Selatan dengan kemenangan angka 12 ronde pada 19 Mei 1984 di Seoul, Korea Selatan. Atas kemenangan ini, Pical menjadi petinju profesional pertama Indonesia yang berhasil meraih gelar internasional di luar negeri.
Pukulan hook dan uppercut kirinya yang terkenal cepat dan keras itu, membawa Pical ke puncak popularitas. Oleh pers, pukulan tersebut dijuluki sebagai "The Exocet", merujuk pada nama sebuah rudal milik Perancis yang digunakan oleh Inggris yang dalam Perang Malvinas yang berkecamuk pada masa jaya Pical saat itu.
Kejuaraan dunia
Ia merebut gelar juara IBF kelas bantam yunior (atau kelas super terbang) dari petinju Korea Chun Ju-do di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1985. Setelah mempertahankan gelar melawan petinju Australia, Wayne Mulholland, 25 Agustus 1985, Pical harus mengakui keunggulan petinju Republik Dominika, Cesar Polanco dengan angka di Jakarta. Namun Pical mampu bangkit dan membalas kekalahannya atas Polanco dengan balik memukul KO Polanco pada pertandingan kedua di Jakarta, 5 Juli 1986.
Sempat mempertahankan gelar melawan petinju Korea Selatan, Dong-Chun Lee, langkah Pical terhenti setelah menyerah dari petinju Thailand, Khaosai Galaxy dengan KO pada ronde 14, pada tahun 1987.
Setelah terjadi pergulatan batin berbulan-bulan karena depresi pasca kekalahan melawan Galaxy, Pical mampu bangkit dan merebut gelar IBF kelas bantam yunior kembali dari sang juara bertahan waktu itu Tae-ill Change, juga dari Korea Selatan. Gelar ini sempat bertahan sampai 2 tahun, hingga akhirnya Pical harus terbang ke Ronoake, Virginia, AS untuk mempertahankan gelar melawan Juan Polo Perez dari Kolombia, (4 Oktober 1989, dan Pical harus menyerahkan gelarnya setelah kalah angka.
Masa pensiun
Pasca kekalahan dari Perez, Pical sempat bertanding non gelar sebanyak 3 kali, hingga akhirnya ayah dari Lorinly dan Matthew Pical ini pun sedikit demi sedikit menyingkir dari ring tinju. Pical yang tidak sempat lulus SD ini kemudian bekerja sebagai petugas keamanan (satpam) di sebuah diskotik di Jakarta.
Sisi gelap
Ia ditangkap pada 13 Juli 2005 oleh polisi karena melakukan transaksi narkoba di sebuah diskotik. Penangkapannya sempat menuai kritikan dari berbagai pihak yang menyoroti tiadanya jaminan hidup yang diberikan pemerintah kepada atlet yang telah mengharumkan nama negara. Pical lalu divonis hukuman penjara selama 7 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pekerjaan kini & keluarga
Setelah bebas dari penjara, Pical diterima bekerja di KONI pusat, sebagai asisten ketua KONI, Agum Gumelar (catatan: ketua KONI sekarang: Rita Subowo).
Sepanjang karir profesionalnya, rekornya adalah 20 kemenangan (11 KO), 1 seri, dan 5 kekalahan. Dari pernikahannya dengan Rina Siahaya Pical, ia memperoleh dua orang putra: Lorinly dan Matthew, kini tinggal di perumahan Duta Bintaro, Kabupaten Tangerang.
Chris ''Dragon'' John
Chris John
Juara dunia tinju kelas bulu versi WBA dari Indonesia, Chris John, dalam posisi mempertahankan gelar dengan memilih lawan sendiri pada tanggal 28 Pebruari 2009 akan bertanding melawan Rocky Juarez dari Amerika Serikat. Chris John yang sukses memperthankan gelarnya sebanyak 10 kali baru pertama kali bertanding di benua Amerika dan khususnya lagi dibawah naungan promoter The Golden Boy Promotion milik Oscar De La Hoya. Untuk persiapan menghadapi Rocky Juarez, Chris John berangkat ke Amerika lebih awal menjelang pertandingannya, dengan maksud untuk mengadakan penyesuaian iklim bagi dirinya. Sehingga jika bertanding kelak kondisinya dapat prima.
Sang penantang, Rocky Juarez adalah pemegang medali perak Olympiade Atlanta, bertubuh lebih pendek dari pada Chris John. Petinju ini pernah bertanding sebanyak 4 kali untuk memperebutkan gelar juara dunia, akan tetapi semuanya gagal. Kegagalan Juarez untuk menjadi juara dunia karena lawannya memang jauh lebih baik dari dirinya. Diantara lawan yang pernah dihadapinya dalam perebutan gelar juara dunia tinju kelas bulu versi WBC dan IBF adalah Antonio Barrera dan Juan Manuel Marquez. Matang di tinju amatir, Rocky Juarez merasa yakin dapat berhasil juga di ring tinju pro. Tetapi kemudian dia mendapat kesulitan karena tubuhnya lebih pendek dari pada lawannya selama ini ditambah lagi bahwa memang lawan-lawannya adlah yang terbaik di kelas bulu. Keistimewaan Juarez yang terlihjat adalah pukulan kirinya yang cecpat dan rajin menyerang, padahal dia bukan kidal. Senjata penggangu dan pencari angka dan sekaligus sesekali menjadi penentu kemenangannya adalah pukulan hook kiri yang membentur dagu lawan. Tubuhnya yang pendek, lebih direndahkan lagi sehingga sulit untuk dipukul membuatnya sering sulituntuk diserang oleh lawannya.
Chris John yang selama 10 kali mempertahankan gelar juara dunia tinju kelas bulu WBA memang belum pernah berhadapan melawan petinju seperti Rocky Juarez. Lawan terahir Chris John, Hiroyuki dari Jepang memang tampil dengan
MIKE TYSON
MIKE TYSON
Juara dunia tinju kelas berat termuda dalam sejarah tinju dunia, dengan banyak masalah, ahirnya dia kalah melawan dirinya sendiri
MIKE TYSON
MIKE TYSON
”Saya adalah manusia biasa yang punya perasaan”, kata Mike Tyson
Tetapi penampilannya yang buas seperti binatang kelaparan memangsa, membuatnya seperti tampak kejam dan sadis
Mike Tyson lahir di Broklyin, New York tanggal 30 Juni 1966 dan hidup liar sebagai anak gelandangan dijalanan kawasan Brownsville. Ayahnya meninggalkan keluarganya ketika dia masih dalam kandungan. Ketika berusia 10 tahun Tyson kecil sudah akrab dengan perkelahian untuk menjadi preman yang berpengaruh.Masuk perawatan anak-anak nakal berulang kali dan terahir dimasukkan ke Tryon School for Boys, dimana dia berada hingga usia 13 tahun. Salah seorang pengawas disana, Bobby Stewart melihat potensi yang ada pada tubuh Tyson yang begitu tegap dengan otot yang baik. memperkenalkannya kepada Cus D’Amato. Cus D’Amato adalah manager dan pelatih tinju yang melahirkan juara dunia seperti Flyod Patterson dan Jose Torres. Mike Tyson diserahkan kepada Cus D;Amato pada ulang tahunnya yang ke-14. D’Amato mempunyai anggota yang cukup baik untuk menyokongnya sebagai pelatih, yaitu Jim Jacobs dan Bill Cayton. Bersama kedua orang itulah Tyson diperkenalkan bagaimana tehnik dasar bertinju serta mereka menonton film pertandingan tinju. Usai menonton, mereka menganalisis penampilan setiap petinju dengan argumen masing-masing. Mereka kemudian mengambil kesimpuilan bahwa Tyson harus bisa tampil sebagai petinju dengan gaya fighter bahkan mendekati gaya slugger karena tubuh Tyson termasuk pendek dari semua petinju kelas berat yang ada. Tyson muncul di ring tinju amatir dengan kemenangan yang meyakinkan, akan tetapi ketika seleksi untuk persiapan tim Olympiade Seoul dia kalah dan terlalu lama untuk menunggu Olympiade berikutnya .Mike Tyson terjun ke ring tinju pro pada bulan Mei 1985 dalam pertandingan kecil yang diatur oleh Jacob dan Clayton. Semula pembina Tyson amat menjaga agar Tyson tidak tampil dalam acara televisi nasional, agar Tyson bisa tampil dengan penampilan luarbiasa jika disaksikan untuk pertama kalinya oleh publik.Dari 15 pertandingannya pada tahun 1985, 11 lawannya dipukul KO pada ronde pertama. Tahun 1986 dia memenangkan 13 pertandingan tanpa terkalahkan. Trevor Berbick jatuh bangun dihajarnya pada ronde pertama dan pada ronde kedua Berbick harus menyerahkan sabuk juara dunia tinju kelas berat versi WBC kepada Mike Tyson. Mike Tyson memecahkan rekor Floyd Patterson sebagai juara dunia tinju kelas berat termuda. Usia Mike Tyson ketika merebut gelar juara dunia tinju pada usia 20 tahun dan 145 hari. Dalam tempo 10 bulan kemudian setelah menjatuhkan Berbick, Tyson menyatukan semua gelar juara dunia dipinggangnya. James Douglas juara dunia tinju kelas berat versi WBA sudah takut duluan, dia terus merangkul Tyson agar pukulan Tyson tidak leluasa menghajarnya. Tony Tucker juara dunia tinju kelas berat versi IBF juga ketakutan melawan Tyson dan bermain safe dengan merangkul Tyson lebih banyak.
Mike Tyson memiliki otot yang kokoh, dari otot yang kokoh tetapi lentur itu bisa melahirkan pukulan yang amat cepat menyambar sasaran pada tubuh atau kepala lawannya. Dengan tubuh yang lebih pendek dari hampir semua petinju kelas berat dunia, kepala dan badannya naik turun dan bergerak kekiri dan kekanan agar tidak mudah dibidik oleh lawan. Pergerakan badannya kekiri dan kekanan juga sekaligus ancang-ancang untuk melepaskan hook kiri atau hook kanan. Gaya bertinju seperti ini adalah kreasi dari Cus D’Amato yang disebut dengan peek-a-boo Kekuatan pukulan Tyson bisa membuat lawnnya KO jika kena pada bagian apapun, baik kepala maupun badan lawannya. Ahirnya hampir semua petinju kelas berat dunia takut terhadap Mike Tyson.
Tetapi dikemudian hari setelah Cus D’Amato meninggal dunia, kehidupan Mike Tyson menjadi limbung, tidak terkontrol. Mike Tyson seperti kehilangan kendali hidup dan terjerumus dalam kehidupan yang tidak sesuai dengan tuntunan Cus D’Amato’ Sedikit demi sedikit kemampuan bertinjunya menurun seiring dengan tidak terfokus lagi latihannya.
Gaya bertinju Mike Tyson ahirnya bisa diatasi oleh Evander Holyfield dengan caranya sendiri. Kalau takut melawan Mike Tyson sudah pasti kehilangan separuh tenaga, kalau berani melawan Tyson secara frontal berarti Tyson kehilangan separuh tenaganya. Mike Tyson menggempur Evander Holyfield dalam pertandingan pertama kereka di Las Vegas, tanggal9 Nopember 1996. Holyfield menahan serangan Tyson dengan membangun double-cover. Berkali-kali pada ronde pertama dan kedua pukulan Tyson tidak berhasil menembus pertahanan Holyfield dan Holyfield tenang-tenang saja seperti tak gentar. Ahirnya Mike Tyson frustrasi, tidak bisa berbuat banyak, sebaliknya Holyfield bertambah tinggi mentalnya. Holyfield membangun serangan beruntun terhadap Tyson, pukulan Holyfield beberapa mengena. Tyson tambah frustrasi karena tida dapat berbuat apa-apa, pukulannya tak mengena, pertahanannya dijebol oleh Holyfield. Kebetulan bertarung jarak dekat dan kepala Holyfield menempel di bahu Tyson, Tyson menggigit kuping Holyfield hingga berdarah. Yang terlihat kuat dan kokoh ternyata tak sekuat yang diduga oleh banyak orang. Orang yang kuat, petinju yang kuatnya luarbiasa, ternyata memiliki kelemahan yang luarbiasa juga. Bayangkan, hanya dengan menahan 10 pukulan keras Mike Tyson, Holyfield bisa mengalahkan Tyson. Dengan menahan pukulan Tyson, mental bertanding Tyson menurun tajam, sekaligus tenaganya juga anjlok tajam. Ternyata dalam dunia tinju erat hubungannya antara takut atau kesal dengan tenaga. Kalau kita takut, tenaga akan hilang, kalau kita kesal juga bisa membuat hilang konsentrasi dan sekaligus juga hilang tenaga.